Aceh Tamiang – Humas: Berbagai upaya terus dilakukan untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan, salah satunya upaya menyelamatkan daratan dari hukum alam. Rabu, (8/12/21) bertempat di aula Bappeda Aceh Tamiang, Kampung Tanjung Keramat dan Alur Nunang, Kecamatan Banda Mulia resmi ditetapkan sebagai pilot project pertama di Provinsi Aceh pada bidang Hukum Lingkungan dengan membentengi mangrove sebagai pertahan daratan terakhir.
 
Penetapan kedua kampung tersebut disahkan dengan dilakukan penandatanganan Qanun Kampung tentang Pemanfaatan dan Perlindungan Kawasan Mangrove pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) / Diskusi Terfokus terkait pemanfaatan dan perlindungan kawasan mangrove di Desa Tanjung Keramat dan Alur Nunang, Kec. Banda Mulia oleh LSM Kawasan Ekosistem Mangrove dan Pulau Sumatera (KEMPRa).
 
Dilandasi dengan gundulnya ratusan hektare hutan mangrove di kedua kampung ini akibat maraknya perambahan, Direktur Eksekutif KEMPRa, Izuddin Idris mengatakan Qanun kampung ini akan menjadi landasan pengelolaan mangrove berbasis desa dalam konteks pemanfaatan dan perlindungan serta pengelolaan hasil hutan bukan kayu. Sehingga hutan mangrove di Aceh Tamiang tidak rentan dirusak oleh prambah dan berubah fungsi menjadi perkebunan.
 
“Kami menjembatani dan memfasilitasi dalam hal penerapan dan kekhawatiran masyarakat akan rusaknya mangrove oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Reusam (Qanun) ini akan menjaga kelestarian hutan mangrove tanpa mengusik perekonomian masyarakat sekitar”, ungkap Izuddin.
 
Penandatanganan yang dilakukan oleh Datok Penghulu kedua kampung tersebut disaksikan Ketua DPRK Aceh Tamiang, Suprianto dan Kepala Dinas Pangan, Kelautan dan Perikanan, Safuan serta sejumlah perwakilan masyarakat.
 
Suprianto menilai komitmen yang dibangun dalam Qanun Kampung merupakan solusi tepat terkait kelestarian hutan mangrove yang selama ini berdampingan dengan perekonomian masyarakat. Suprianto mengapreasi tim penyusun draf qanun ini tetap memerhatikan kebiasan masyarakat yang bertahun-tahun memanfaatkan lahan mangrove untuk pertanian.
“Hutan mangrove ini penting karena menjadi filter, misalnya sampah kimia dari kapal yang setiap harinya melintas di laut. Baiknya kehidupan anak cucu kita nanti, tergantung prilaku kita hari ini,” ucapnya.
 
Sementara Kabid Ekonomi dan SDA Bappeda Aceh Tamiang, Azhar menambahkan penandatanganan Qanun Kampung ini merupakan kerja keras semua pihak dan sudah direncanakan sejak beberapa tahun lalu. Persoalan terberat kata dia, tim harus mampu menyandingkan penegakan hukum dengan kepentingan hajat hidup orang banyak. “Mangrove ini bukan persoalan biasa, karena ada budaya dan prilaku masyarakat pesisir yang mencari nafkah di lahan ini,” ujarnya.
 
Salah satu rumusan yang dimasukan dalam Qanun Kampung ini masyarakat dibolehkan memanfaatkan mangrove melalui izin datok penghulu dan bersedia menanam ulang. Pengelolaan tanpa izin datok penghulu akan dinyatakan ilegal dan pelakunya akan dibawa ke peradilan adat.
 
Datok Penghulu Kampung Tanjungkeramat, Jafar mengatakan perambahan ini terjadi di zona inti mangrove seluas 318 hektare. Ia menjelaskan perambahan ini umumnya dilakukan para pemburu kayu arang yang datang dari berbagai daerah. Mayoritas pelaku diklaimnya berasal dari luar Kecamatan Bandamulia.
 
“Statusnya hutan lindung, bisa dibilang sudah gundul karena dirambah. Orang itu datang naik perahu, kalau nebangnya ya pakai chainsaw,” ujarnya.
 
Diakuinya ada beberapa faktor yang menyebabkan pihaknya kesulitan melakukan pengawasan. Di antaranya jarak zona inti hutan mangrove yang mencapai enam kilometer dari permukiman dan juga penanganan hukumnya.
 
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di Kampung Alurnunang yang merupakan tetangga Tanjungkeramat. Di sini, zona inti hutan mangrove seluas 130 hektare juga menjadi langganan para perambah.
 
“Posisi kami itu pantai, kalau tidak ada mangrove, bisa tenggelam kampung kami,” kata Datok Penghulu Kampung Alurnunang, Ramlan.
 
Baik Ramlan maupun Jafar, mengaku sangat berterima-kasih atas lahirnya Qanun Kampung tentang Pemanfaatan dan Perlindungan Kawaasan Mangrove yang telah ditandatangani pada Rabu, 8 Desember 2021. Qanun ini akan menjadi kepastian hukum bagi perangkat kampung dalam memberikan suatu sanksi bagi pelanggar. Salah satu poin yang dituangkan dalam qanun ini tentang pemanfaatan mangrove melalui izin datok penghulu dan syarat bersedia menanam ulang. Adapun bagi oknum yang tertangkap menebang secara ilegal akan diadili melalui peradilan adat dan sanksinya ditentukan melalui kesepakatan. []