BINGKAI SEGI LIMA Dengan warna kuning yang diapit oleh warna hijau dapat diartikan kemuliaan dalam kesejahteraan dan kemakmuran sebagai daerah yang dalam kehidupan bernegara berada dibawah dasar falsafah Pancasila dan kehidupan beragama dengan tuntunan rukun Islam yang lima.

 

PUCOK REBONG Adalah lambang dan sejarah masyarakat Tamiang yang kekuatan legendanya telah mengikat dalam kehidupan masyarakat sebagai awal dari asal kata Tamiang dan dapat memberi makna kepada suatu pertumbuhan yang kokoh dalam persatuan, hidupnya yang berumpun dapat dicerminkan pada kehidupan bambu, dimana yang muda menjadi benteng pelindung mengelilingi yang lebih tua berada ditengah.

 

TEPAK SIREH Adalah lambang adat yang dimiliki oleh 3 (tiga) suku perkauman di Tamiang yaitu Suku Perkauman Aceh, Suku Perkauman Tamiang, dan Suku Perkauman Gayo. Tepak adalah tempat sireh yang disusun sebagai sempene resam pengiring sembah pembuka madah, ketika kata akan dimulai, sireh sombul disorong dahulu. Sireh juga melambangkan persahabatan dan persaudaraan dimana setiap orang menyodorkan sireh untuk dimakan, berarti perdamaian dan persahabatan kesemuanya merupakan pelambang rukun dan damai mencakup seluruh ruang lingkup tatakrama kehidupan. Peranan tepak yang berisi sireh susun merupakan kelengkapan peradapan dari resam qanun yang tersimpul dalam kate tetuhe ” Mulie Kaom Bersireh Tepak, Kembang Kerabat Manih Bahase “.

 

KAPAS DAN PADI Melambangkan kehidupan pertanian yang dapat membawa kepada kemakmuran dalam usaha yang gigih. Pertanian yang merupakan usaha dari sebahagian masyarakat wilayah Tamiang baik dari tanaman keras tahunan seperti kelapa sawit, karet dan lain-lain yang telah memberikan hasil bagi pendapatan daerah serta tanaman jangka pendek seperti palawija yang mampu membawa kepada kehidupan masyarakat yang makmur dari berbagai hasilnya disamping perluasan areal percetakan sawah baru yang juga membawa arah kemakmuran masyarakat.

 

MENARA MINYAK Sebagai lambang dari sumber daya hasil bumi berupa minyak dan gas bumi yang dikelola oleh Perusahaan Tambang Minyak Nasional (Pertamina) milik Pemerintah serta lambang kelautan yang merupakan kekayaan hasil laut, disamping sebagai sarana akses transportasi bagi lalu lintas perdagangan juga adalah sumber yang dapat memberikan kemakmuran masyarakat.

 

BUKU Merupakan lambang dari ilmu pengetahuan bagi sumber daya manusia yang dapat meningkatkan kwalitas melalui peningkatan minat baca kepada sumber- sumber ilmu pengetahuan.

 

BINTANG Adalah lambang dari ketuhanan, dimana masyarakat wilayah Tamiang dalam kehidupannya ta’at dan tunduk dari tuntunan syari’at Islam secara berdampingan dengan adat istiadat Tamiang. Ikatan yang mempersatukan padi dan kapas berjumlah 8 (delapan) ikatan, adalah lambang persatuan diantara masyarakat dari 8 (delapan) Kecamatan. Kabupaten Aceh Tamiang mencakup 8 (delapan) Kecamatan yang terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa diantaranya Suku Tamiang, Suku Aceh dan Suku Gayo dimana merupakan suku asli dari wilayah tamiang disamping suku pendatang yang telah menetap di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang seperti Jawa, Batak, Minang, Tionghoa dan lain-lain. Semuanya etnis dan suku hidup rukun, damai dan bersatu serta membaur dengan keberadaan masyarakat asli Tamiang dengan toleransi yang tinggi dan merupakan satu prinsip yang telah diwarisi secara temurun dikenal dengan ungkapan ” Digoyang Buleh, Dicabut Te’ek “. Toleransi tersebut dibatasi dalam wewenang yang nenberikan kebebasan terarah dimana tercermin dalam kate tetuhe ” Tande Belang Ade Batehnye, Tande Empus Berantare Paga “.

 

JUMLAH 2 (DUA) RIAK AIR LAUT DAN 7 (TUJUH) ANAK TANGGA MENARA MINYAK adalah lambang dari hari lahirnya Kabupaten Aceh Tamiang yaitu tanggal 2 Juli 2002. Kabupaten Aceh Tamiang lahir selain dari perjuangan panjang masyarakat Tamiang juga didukung oleh berbagai potensi daerah, diantaranya yang terbesar adalah Perusahaan Tambang Minyak Nasional (Pertamina) yang memberikan kontribusi besar bagi lahir dan berkembangnya Kabupaten Aceh Tamiang disamping potensi kelautan diantaranya tambak udang dan tambak ikan dan merupakan salah satu aset pendapatan daerah.

.

Tamiang pada awalnya merupakan satu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan dibawah pimpinan seorang Raja Muda Sedia yang memerintah selama tahun 1330 – 1366 M.Pada masa kerajaan tersebut wilayah Tamiang dibatasi oleh daerah-daerah :

 

  • Sungai Raya / Selat Malaka di bagian Utara
  • Besitang di bagian Selatan
  • Selat Malaka di bagianTimur
  • Gunung Segama ( gunung Bendahara / Wilhelmina Gebergte ) di bagian Barat.

 

Pada masa kesultanan Aceh, kerajaan Tamiang telah mendapat Cap Sukureung dan hak Tumpang Gantung ( Zainuddin, 1961, 136 – 137 ) dari Sultan Aceh Darussalam, atas wilayah Negeri Karang dan negeri Kejuruan Muda. Sementara negeri Sulthan Muda Seruway, negeri Sungai Iyu, negeri Kaloy dan negeri Telaga Meuku merupakan wilayah-wilayah yang belum mendapat cap Sikureung dan dijadikan sebagai wilayah protector bagi wilayah yang telah mendapat cap Sikureung.

Pada tahun 1908 terjadi perubahan Staatblad No.112 tahun 1878, yakni Wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment Aceh en Onderhoorigheden yang artinya wilayah tersebut berada dibawah status hokum Onderafdelling.

Dalam Afdeling Oostkust Van Atjeh ( Aceh Timur ) terdapat beberapa wilayah Landschapsdimana berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder dengan status hukumOnderafdelling Tamiang termasuk wilayah-wilayah :

  • Landschap Karang
  • Landschap Seruway / Sultan Muda
  • Landschap Kejuruan Muda
  • Landschap Bendahara
  • Landschap Sungai Iyu, dan
  • Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.

 

” TAMIANG ” adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data sejarah berasal dari : ” Te – Miyang ” yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu Betong ( istilah Tamiang ” bulooh ” ) dan Raja ketika itu bernama Tamiang Pehok lalu mengambil bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar ” Pucook Sulooh Raja Te – Miyang “, yang artinya “seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gaatal atau kebal gatal”.

 

Data – data Kerajaan Tamiang :

  1. Prasasti Sriwijaya yang diterjemahkan oleh Prof. Nilkanta Sastri dalam ” The Great Tamralingga ( capable of ) Strong Action in dangerous Battle “( Moh. Said 1961:36 ).
  2. Data kuno Tiongkok ( dalam buku ” Wee Pei Shih ” ) ditata kembali oleh I.V.Mills, 1937, halaman 24 tercatat negeri Kan Pei Chiang ( Tamiang ) yang berjarak 5 Km ( 35 Mil Laut) dari Diamond Point ( Posri ).
  3. Kerajaan Islam Tamiang dalam The Rushinuddin’s Geographical Notices ( 1310 M ).
  4. Tercatat sebagai ” Tumihang ” dalam syair 13 buku Nagara Kartagama ( M.Yamin, 1946 : 51 ).
  5. Benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang ( Penemuan T.Yakob, Meer muhr dan Penulis Sartono dkk ).

 

Berkaitan dengan data diatas serta hasil penelitian terhadap penemuan fosil sejarah, maka nama Tamiang dipakai menjadi usulan bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah-III meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang.

Tuntutan pemekaran daerah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebenarnya telah dicetuskan dan diperjuangkan sejak tahun 1957 awal masa Propinsi Aceh ke-II, termasuk eks Kewedanaan Tamiang diusulkan menjadi Kabupaten Daerah Otonom.

Berikutnya usulan tersebut mendapat dorongan semangat yang lebih kuat lagi sehubungan dengan keluarnya ketetapan MPRS hasil sidang umum ke-IV tahun 1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah – Gotong Royong (DPRD-GR) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam usul memorendumnya tentang Pelaksanaan Otonomi Riel dan luas dengan Nomor B-7/DPRD-GR/66, terhadap Pemekaran Daerah yang dianggap sudah matang untuk dikembangkan secara lengkap adalah sebagai berikut :

  1. Bekas Kewedanaan Alas dan Gayo Lues menjadi Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukotanya Kutacane;
  2. Bekas daerah Kewedanaan Bireun, menjadi Kabupaten Djeumpa dengan ibukota Bireun;
  3. Tujuh kecamatan dari bekas kewedanaan Blang Pidie menjadi Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibukota Blang Pidie;
  4. Bekas Daerah “Kewedanaan Tamiang” menjadi Kabupaten Aceh Tamiang dengan ibukotanya Kualasimpang;
  5. Bekas daerah Kewedanaan Singkil menjadi Kabupaten Singkil dengan ibukotanya Singkil;
  6. Bekas daearh Kewedanaan Simeulue menjadi Kabupaten Simeulue dengan ibukotanya Sinabang;
  7. Kotif Langsa menjadi Kotamadya Langsa.

 

Usulan tersebut diatas sebahagian besar sudah menjadi kenyataan dari 7 wilayah usulan, saat ini yang sudah mendapat realisasi sebanyak 4 wilayah dan Tamiang termasuk yang belum mendapatkannya.

Bertitik tolak dari hal-hal tersebut diatas dan sesuai dengan tuntutan dan kehendak masyarakat di Wilayah Tamiang, maka selaras dengan perkembangan zaman diera reformasi, demokrasi wajar kiranya bila masyarakat setempat mengajukan pemekaran dan peningkatan statusnya.

Sebagai tindak lanjut dari cita – cita masyarakat Tamiang tersebut yang cukup lama proses secara historis, maka pada era reformasi sesuai dengan undang – undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, pintu cita – cita tersebut terbuka kembali serta mendapat dukungan dan usul dari :

 

  1. Bupati Aceh Timur, dengan surat No. 2557 / 138 / tanggal 23 Maret 2000, tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati Wilayah III Kualasimpang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang kepada DPRD Kabupaten Aceh Timur.
  2. DPRD Kabupaten Aceh Timur dengan surat No. 1086 / 100 – A / 2000, tanggal 9 Mei 2000, tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
  3. Surat Bupati Aceh Timur, No. 12032 / 138 tanggal 4 Mei 2003 kepada Gebernur Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
  4. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 138 / 9801 tanggal 8 Juni 2000 kepada DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
  5. Surat DPRD Daerah Istimewa Aceh No. 1378 / 8333 tanggal 20 Juli 2000 tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
  6. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 135 / 1764 tanggal 29 Januari 2001 kepada Menteri Dalam dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Cq. Dirjen PUMD tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati dan Kota Adminstrasi menjadi Daerah Otonom.

 

Kerja keras yang cukup panjang itupun akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 2 Juli 2002, Tamiang resmi mejadi Kabupaten berdasarkan UU No. 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

 

 

Kabupaten Aceh Tamiang terletak antara 03°53 ‘18,81″ – 04°32′ 56,76″ Lintang Utara dan 97°43′ 41,51″ –  8°14’ 45,41″ Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 20 – 700 meter di atas permukaan laut. Pada Tahun 2007, Kabupaten Aceh Tamiang mengalami pemekaran kecamatan sehingga wilayah administrasi menjadi 12  Kecamatan dan 213 kampung. Batas-batas Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa, sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Utara, sebelah Selatan dengan Kabupaten Gayo Lues dan sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tenggara.

 

Luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang sebesar 195.702,50 ha, dengan lahan perkebunan perusahaan sebagai lahan terluas yang mencapai 46.817 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat mencapai 44.460 ha. Kecamatan terluas di Kabupaten Aceh Tamiang adalah Tenggulun dengan luas wilayah sebesar 29.555 ha atau sekitar 15,10 persen dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang. Lokasi objek wisata alam di Kabupaten Aceh Tamiang ada di 13 lokasi yaitu Pantai Kupang, Air Terjun Sangka Pane, Jati Kasih Sumber Air Panas, Pantai Pusung Siung, Pantai Kuala Ketapang, Situs Bukit Kerang, Air Terjun Tujuh Tingkat, Pemandian Gunung Pandan, Tamsar Alur Biak, TPI, Air Terjun Aras Sembilan, DAM, dan Situs Bukit Resmi.